Archive for January, 2011

January 18, 2011

Karma Phala

Karma phala berasal dari dua kata yaitu karma dan phala. Karma berasal dari bahasa Sansekerta “Kr” yang berarti berbuat, bekerja, bergerak, bertingkah laku dan phala berarti buah/hasil. Berdasarkan hukum sebab akibat, atau aksi reaksi maka segala sebab pasti akan membuahkan akibat (Phala). Karma phala berarti buah dari perbuatan yang telah dilakukan atau yang akan dilakukan.

“Karma phala ngaran ika phalaning gawe hala hayu” (Slokantara 68), Karma phala merupakan akibat (phala) dari baik buruk suatu perbuatan (karma).

Karma phala memberi optimisme kepada setiap manusia, bahkan semua makhluk hidup. Dalam ajaran ini, semua perbuatan akan mendatangkan hasil bagi yang berbuat. Apapun yang kita perbuat, seperti itulah hasil yang akan kita terima. Yang menerima adalah yang berbuat, bukan orang lain. Karma Phala adalah sebuah Hukum Universal bahwa setiap perbuatan akan mendatangkan hasil. Dalam konsep Hindu, berbuat itu terdiri atas: perbuatan melalui pikiran, perbuatan melalui perkataan, dan perbuatan melalui tingkah laku, Ketiganya lah yang akan mendatangkan hasil bagi yang berbuat.Kalau perbuatannya baik, hasilnya pasti baik, demikian pula sebaliknya.

Dalam masa kehidupannya, setiap mahluk tidak akan putus-putusnya melakukan karma, oleh karena nya tidak akan putus-putus pula karma phala yang dinikmatinya. Ada yang sempat menikmatinya pada masa kehidupannya saat ini, ada pula yang dinikmatinya pada masa hidupnya yang akan datang, serta ada pula yang akan dinikmatinya di akhirat kelak.

Karma Phala terbagi atas tiga, yaitu:

  1. Sancita Karma Phala (Phala/Hasil yang diterima pada kehidupan sekarang atas perbuatannya di kehidupan sebelumnya). Sancita Karma Phala adalah Phala hasil perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati, merupakan benih yang akan menentukan kehidupan kita sekarang. Contoh dari hal ini adalah kelahiran manusia yang berbeda-beda, ada yang lahir dengan wajah rupawan atau buruk rupa, lahir di keluarga kaya atau miskin, tubuh yang cacat atau normal, hidup senang atau susah dan lain sebagainya, semuanya itu tidak lepas dari phala yang diperoleh akibat perbuatannya di kehidupannya terdahulu.
  2. Prarabdha Karma Phala (Karma/Perbuatan yang dilakukan pada kehikupan saat ini dan Phalanya akan diterima pada kehidupan saat ini juga).Prarabdha Karma Phala adalah Phala hasil perbuatan kita di kehidupan ini yang dinikmati saat ini juga tanpa tersisa lagi. Contohnya, kita bekerja untuk mendapatkan hasil kerja untuk menikmati kehidupan yang lebih baik.
  3. Kryamana Karma Phala (Karma/Perbuatan yang dilakukan pada kehidupan saat ini, namun Phalanya akan dinikmati pada kehidupan yang akan datang). Ryamana Karma Phala adalah Phala hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat sehingga harus diterima di kehidupan yang akan datang.

Ada pula pembagian Karma phala berdasarkan jenis karma yang dilakukannya yaitu :

Karma Sangga, yaitu segala perbuatan atau tugas kewajiban yang berhubungan dengan keduniawian, menyangkut kehidupan sosial manusia. Bila seseorang karyawan bekerja dengan tenaga jasmaninya akan menerima upah yang disebut “Karma Kara”, sedangkan karyawan yang bekerja dengan tenaga rohani/pikirannya akan menerima upah yang disebut “Karma Kesama”.

Karma Yoga, yaitu segala perbuatan yang dilakukan tanpa terikat keduniawian, tanpa memikirkan upahnya, karena keyakinan bahwa segala yang dilakukannya adalah atas kehendak Hyang Widhi sesuai dengan ethika agamanya.

Adapun yang mengadili/menentukan phala terhadap perbuatan yang dibawa oleh atma di akhirat dan dalam penjelmaan yang akan datang adalah Hyang Widhi, kerena beliaulah saksi agung yang Maha Tahu segala perbuatan mahluk (manusia). Pada saat beliau mengadili amal dan dosa dari perbuatan yang dibawa oleh atma, beliau bergelar Sang Hyang Yama Dipati, beliau memiliki bala tentara yang disebut dengan “Cikra Bala”, Jogor Manik bertugas menyiksa atma yang berdosa, Sang Suratma bertugas mencatat baik buruk karma dari semua mahluk di dunia.

Secara filsafat, Sang Suratma adalah alam pikiran atau Suksma Sarira (Badan Astral) dari mahluk yang merupakan tempat tercatatnya segala subha dan asubha karma (amal dosa perbuatan) dari mahluk , sehingga selalu dan tetap berbekas dalam alam pikirannya.

“Asing sagawenya dadi manusa ya ta iningetan de Bhatara Widhi, Apan sira pinaka paracaya Bhatara ring subha asubha karma ning janma” (Wraspati Tattwa – 22), Segala apa yang diperbuat dalam penjelmaan menjadi manusia, semua itulah dicatat oleh Bhatara Widhi (Tuhan) karena dia sebagai hakim dari baik buruk (amal dosa) perbuatan manusia.

“Bhatara Dharma ngaran nira Bhatara Yama, Sang Kuma yatnaken subha asubha prawertti nikang sekala janma” (Agastiya Parwa 335-15), Bhatara Dharma juga bergelar Bhatara Yama yang mengamati dan mengadili baik buruk perbuatan manusia, dan karma itu memberikan akibat yang besar terhadap kebahagiaan atau penderitaan hidup manusia.

Pengaruh Karma pulalah yang menentukan corak serta nilai dari watak manusia. Karma yang baik menciptakan watak yang baik, demikian pula sebaliknya, karma yang buruk memberikan watak yang buruk pula. Segala macam karma yang dilakukan oleh mahluk terutama manusia akan tercatat selalu dalam alam pikirannya yang kemudian menjadi watak dan berpengaruh pula terhadap atmanya, hukum karma yang mempengaruhi seseorang bukan saja diterima olehnya sendiri tapi juga diwarisi oleh keturunannya kelak.

“Sarwesam anyatha rupam jnanam anyat prawarata matur jnana nughawena praja wai cubhacubha”(Agastya parwa 382-4), Semua mahluk berbeda-beda rupa, watak dan keadaan hidup leluhurnya maka mahluk itu menemui kebahagiaan dan penderitaan (baik dan buruk).

“Papam karma krtam kincid jadi tasmin na drasyate nrpate satya putresu putreswapi ca nap tran” (Santi parwa 129-21), Walaupun phala kejahatan perbuatan seseorang tiada terlihat pada orang itu sendiri, meskipun raja, namun pasti akan terlihat pada anak cucu sampe buyutnya juga.

“Bhatara Dharma ngaran ira Bhatara Yama
sang kumayatnaken cubhacubha prawrti
sekala janma”. (Agastya Parwa 355.15)
Bhatara Dharma (juga) bergelar Bhatara Yama (sebagai Dewa Keadilan), adalah pelindung keadilan yang mengamat-amati (mengadili) baik buruk perbuatan manusia. Baik buruk dari (karma) itu akan memberi akibat yang besar terhadap kebahagiaan atau penderitaan hidup manusia.

Jadi hukum karma phala tidaklah menyebabkan manusia putus asa memberi effect negatif sehingga manusia menjadi patalis, pasif dan apatis atau menyerah pada nasib aja, melainkan memberikan dorongan spiritual aktif, dynamis dan positif kepada umat manusia untuk berbuat baik dalam mengatasi segala macam penderitaan hidupnya lahir bathin, sehingga akan membentuk watak manusia susila dengan karmanya yang tinggi.

sumber : http://www.parisada.org, http://balebanjar.com

January 8, 2011

Filosofi warna “poleng”



Anda pasti sering melihat kain dengan warna hitam putih pada lingkungan orang bali, kain tersebut biasanya digunakan pada upacara adat, keagamaan, pada patung atau pohon pohon besar yang ada dibali. Kain yang berwarna hitam putih tersebut oleh orang bali disebut kain “Poleng”.

Dalam kehidupan orang Bali sebenarnya dikenal ada tiga macam warna Poleng. Yang pertama, Warna poleng ”Hitam dan Putih” seperti  warna papan catur ini disebut dengan Poleng ”Rwa Bhineda”. Warna Poleng ini terdiri dari warna hitam dan putih yang merupakan simbolik dari Dharma dan Adharma, atau unsur positif dan unsur negatif. Rwa Bhineda, yaitu konsep tentang suatu perbedaan yang harus ada di dunia ini untuk menciptakan keharmonisan dan keseimbangan alam semesta. Dalam Chinese filosofi lebih dikenal dengan Yin-Yang.

Poleng yang kedua adalah perpaduan warna antara warna Hitam, warna Abu-abu, dan warna Putih. Warna Poleng ini disebut dengan ”Poleng Sudhamala”. Makna yang terkandung didalamnya yaitu warna Hitam merupakan simbol dari Adharma/ unsur negatif, warna putih merupakan simbol dari Dharma/ unsur positif. Sedangkan warna abu-abu ini merupakan sebagai warna penyelaras dari makna Dharma/ unsur Positif (Warna Putih) dan Adharma/ unsur negatif (warna Hitam).


Warna Poleng yang ketiga adalah ”Poleng Tridatu”, yaitu : kombinasi perpaduan dari tiga warna yaitu : Warna Merah, Warna Hitam dan Warna Putih. Warna Merah dalam ”Tridatu” ini merupakan lambang dari Rajas, sifat energik. Warna hitam dalam Tridatu ini melambangkan Tamas, atau sifat malas dan Warna Putih simbol dari Satwam yaitu kebijaksanaan atau kebaikan. Adapula yang memaknai Warna tridatu ini sebagai perlambang penyatuan dari Tri Murti yang mana warna Merah merupakan simbolik dari Dewa Brahma, Warna Hitam simbolik dari Dewa Wisnu dan Putih merupakan simbolik dari Dewa Siwa.

Dari berbagai sumber

January 6, 2011

Naga Banda : Maskot Bali De Vata Pada Liga Primer Indonesia

Bali De Vata adalah tim dari pulau Bali yang akan mengikuti Liga Primer Indonesia 2011. Bali De Vata mempunyai maskot Naga Banda yang sakral dalam kepercayaan masyarakat Hindu Bali.

Berikut adalah penjelasan mengenai Naga Banda :

Dalam mitologi Hindu di Bali, kulit bumi yang berlapis-lapis dan sungai yang mengalir berliku-liku digambarkan sebagai naga-naga yang membelit inti bumi, dimana inti bumi dilukiskan sebagai Bedawang Nala atau Bedawang Api. Konon penyebab terjadinya gempa bumi adalah karena naga-naga yang bertugas membelit Bedawang Nala ini terlena sekejap sehingga Bedawang dapat bergerak dan terjadilah gempa bumi.

Induk-induk naga dikenal dengan nama Sang Hyang Anantabhoga, Sang Hyang Basuki dan Naga Taksaka. Sang Hyang Anantabhoga menggambarkan lapisan kulit bumi yang memikul alam kita ini dengan punggungnya (Anantabhogastawa). Dari kulit bumi inilah timbul segala jenis tumbuh-tumbuhan yang diibaratkan bulu-bulu naga yang memberikan kita sandang pangan yang tidak habis-habisnya. Kata Anantabhoga berasal dari kata ananta yang berarti tidak habis dan bhiga yang berarti pangan.

Sementara Sang Hyang Naga Basuki, dalam Basukistawa dilukiskan dengan Indragiri atau penguasa gunung. Gunung dalam pandangan umat Hindu di Bali bukan saja sebagai linggih atau singgasana Ida Batara tetapi juga merupakan hulunya mata air yang melahirkan sungai yang berliku-liku, yang menyebabkan tanah menjadi subur.


Naga Taksaka digambarkan sebagai naga bersayap yang menguasai udara sehingga udara dapat memberikan kehidupan kepada semua makhluk. Sebab itulah Dalem yang menjadi raja Pulau Bali pada zaman dulu menetapkan bahwa beliau dan turunannya jika meninggal dapat memakai Naga Banda sebagai penebusan terhadap ikatan duniawi sewaktu beliau masih hidup. Rasa keterikatan inilah yang harus diputuskan dengan cara menghidupkan satwam, dalam upacara disimbolkan dengan pendeta yang memanah Naga Banda. Apabila ikatan duniawi ini tidak dapat dilepaskan maka Sang Hyang Atma akan dililit dibawa ke neraka. Namun, apabila ikatan ini mampu dilepaskan maka Sang Hyang Anantabhoga akan menjadi kendaraan Sang Hyang Atma untuk pergi ke sorga.

Warna  Tridatu ( Merah, Hitam, Putih) yang melingkari maskot naga banda diharapkan bisa membawa bali devata seperti filosofi Tridatu yaitu Satwam (Bijaksana) dalam mengarungi kompetisi IPL dengan sportif dan fair play, Rajah (Energi) Menjadi Tim yang disegani  dan Tamas (penghambat) bisa melalui segala rintangan  dalam mencapai puncak tertinggi dari kompetisi LPI.

sumber : dari berbagai sumber.